Kisah Sukses Slamet Prayoga di Bisnis Kopi “Malabar Mountain Coffee”

Nama Slamet Prayoga terbilang baru di dunia perkopian Indonesia. Namanya ikut popular bareng Malabar Mountain Coffee.

Walau baru didirikan kurang dari sewindu, Malabar Mountain Coffee sudah dikenal oleh penikmat kopi nusantara. Kopi yang berasal dari perkebunan di kawasan Pangalengan Jawa Barat makin harum di kalangan pecinta kopi. Bahkan, Malabar Mountain Coffee kerap menang dalam berbagai ajang kompetisi local maupun internasional.

Slamet Prayoga memulai usaha ini dari kegemaran bercocok tanam dan membudidayakan tanaman sejak 1987. Lelaki yang akrab dipanggil Yoga ini menanam berbagai komoditas, mulai jarak, pisang kapok, dan aneka buah. Awal 200-an Yoga sempat menjajaki tanaman hortikultura di beberapa tempat.

Alumni Fakultas Kehutanan ini pernah menjajal jadi karyawan sebuah perushaan perkebunan sawit pada tahun 2006, tapi, hanya bertahan empat tahun. Sebab, mimpinya untuk jadi petani masih menggelayutinya.

Meski begitu, dia masih bingung harus menanam apa. Sebab, semua jenis tanaman pernah dia jajal. Ada kebun buah sendiri di Kalimantan Timur seluas 3 hektare, tapi baru sekadar untuk hobi bukan bisnis.

Kisah Sukses Slamet Prayoga di Bisnis Kopi "Malabar Mountain Coffee"

Yoga baru berkenalan dengan tanaman kopi di tahun 2010 saat kawannya mengajak bertani kopi. Tapi, mereka urung menjalan kejasma lantaran saat Yoga menyambangi kebunnya, dia menilai tanaman kopi sang kawan tak akan produktif. Dari mengecap asam garam budidaya tanaman, ia melihat kebun itu tak ekonomis.

Memilih kopi

Meski begitu, kopi tetap hal baru. Di dalam komoditas ini, ada proses panjang bukan sekadar menanam lalu panen dan menjualnya. Yoga pun baru mulai tertarik dan masuk ke perkebunan kopi di tahun 2012 dengan mendirikan PT Sinar Mayang Lestari.

Yoga memilih Pangalengan di Kabupaten Bandung, sebab di sana sudah banyak petani kopi yang menggunakan tanah milik Perhutani dengan system bagi hasil 10% dari harga produk cherry kopi. Di sana Yoga banyak belajar dengan petani-petani lain. Tapi, dia punya visi yang berbeda dengan mereka. Kalau para petani itu menjual biji kopi ke luar pulau dalam jumlah besar, Yoga berpikir bagaimana cara membangun sebuah industry kopi.

Setahun kemudian, Yoga mendaftarkan kopinya dalam sebuah ajang kompetisi cupping kopi di sebuah kafe di Jakarta. Hasilnya? Juri mengatakan bahwa rasa kopinya tidak enak, seperti tahi kotok.

Yoga pulang dengan satu misi, bagaimana cara menciptakan kopi yang enak, dan bisa diterima di lidah penikmat kopi. Kakek dari lima orang cucu ini mempelajari betul cara pengolahan biji kopi setelah dipanen. Karena, tanaman kopi jika dirawat dia akan tumbuh dengan baik dan menghasilkan kopi yang baik pula.

Sementara, pascapanen, proses akan menentukan hasil akhir biji kopi. Mulai dari proses natural, seperti proses penjemuran jangan sampai kena embun sama sekali, dan sortirlah biji-biji kopi secara betul-betul, karenan proses ini sangat berperan penting.

Proses-proses itu pula yang mengenalkan Yoga pada berbagai jenis mesin pengolahan kopi, seperti pulper dan huller. Selanjutnya menggunakan mesin itu pun harus ada trik khusus agar dapat hasil maksimal. Yoga bahkan smepat menghancurkan semua biji cherry kopi yang digiling karena tak bisa menggunakan mesin pupler.

Setelah membenahi dapur dan proses produksinya, Yoga mulai memperkenalkan produknya lewat ajang-ajang kompetisi di kafe. Dia juga rajin ikut pameran agar kopinya makin dikenal. Tahun 2013 jadi tahun keberuntungannya. Sebab, kopinya ramai dibicarakan dalam sebuah ajang kompetisi cupping di salah satu kafe di Jakarta yang menyebut kopi Yoga punya karakter yang khas.

Yoga juga sempat ikut lelangkopi di JIE Expo pada 2014. Hasilnya, Malabar Mountain Coffee mendapat skor dan harga tertinggi.

Kebun Kopi Malabar Mountain Coffee

Kapasitas produksi Yoga kala itu masih sekitar 4 ton sampai 5 ton per tahun pun langsung ludes dipesan. Perlahan, dia mulai menambah kapasitas produksinya. Sekarang, angkanya sudah sampai 40 ton per tahun, dengan luas kebun 70 hektare di Pangalengan, Bandung, Jawa Barat.

Yoga merasa, bertani kopi itu lebih mengasyikkan daripada bertani komoditas lain. Kalau dulu dia bertani hortikultura, setiap usai panen dia harus menanam ulang dan mengolah lahan. Kalau tanaman kopi dikerjakan dengan baik dan benar, hanya perlu menanam sekali seumur hidup, siapa pun bisa meneruskan tinggal memproduksi saja.

Baca juga:

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.